Selasa, 31 Maret 2009

Model Latihan Inkuiri

MODEL PEMBELAJARAN LABORATORIUM BERBASIS INKUIRI
UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP DAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA MTs
PADA POKOK BAHASAN KALOR
YUDI DIRGANTARA
(Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Jl. Kaum Kidul No. 26 Sukamulya Cinambo Ujungberung Bandung, Kode pos: 40612. Tlp. 0812140012)
Abstract. Inquiry-based laboratory learning model in this research is applied for improvement concept achievement and science process skills in Junior High School for subject matter heat. Metodology of this research is Quasi Experimental with pretest-postest-control group design. The population is grade’s VIII student of MTsN Bandung that there are 6 classes. We take random from 6 classes, that one class as experimental class and one class as control class. The number of sample is 41 students for experimental class and 41 students for control class. The research’s data are paper test (pretest and postest), quesionaire, observation and interview. The research’s data are done with consider their normality and homogenity, and than mean difference test with t-test. The result of study show that there are raising concept achievement and science process skills after inquiry-based laboratory learning model is apllied better than verification laboratory learning. N-gain of concept achievment is 0,44 for experimental class and 0,33 for control class. N-gain for science process skills is 0,54 for experimental class and 0,31 for control class.
Keywords: Inquiry-based laboratory learning model, concept achievment, science
process skills, subject matter heat
Pendahuluan
Rendahnya kemampuan dan minat siswa dalam mempelajari IPA, khususnya fisika, disebabkan oleh adanya anggapan bahwa mata pelajaran fisika itu tidak mengasyikkan. Hal ini terbukti dari penelitian, hanya 20% siswa yang menyukai mata pelajaran fisika.1 Demikian juga bahwa di lapangan, siswa menganggap pelajaran Fisika sebagai pelajaran yang sulit, menakutkan, dan menyeramkan.2 Keadaan tersebut merupakan salah satu faktor masih rendahnya hasil belajar siswa yang mengindikasikan rendahnya penguasaan konsep siswa pada mata pelajaran fisika.
1 Druxes, Kompendium Didaktik Fisika, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1995), hlm. 99
2 Sutresno, Efektifitas Model Pembelajaran Learning Cycle dalam Meningkatkan Pemahaman pada Pokok Bahasan Gaya Gesekan dan Kemampuan Berfikir Siswa SMU, Tesis, (Bandung: UPI, 2001), hlm. 3
Ilmu pengetahuan alam, yang salah satunya adalah fisika, merupakan tulang punggung kemajuan teknologi yang sangat besar sekali kontribusinya terhadap pembangunan suatu bangsa, seperti teknologi informasi, elektronika, komunikasi, dan transportasi. Hasil survei AIP (American Institut of Physics) menunjukkan bahwa pengetahuan fisika merupakan urutan paling rendah.3 Tanpa penguasaan fisika yang memadai, perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan di suatu negara akan terlambat dan pada akhirnya akan menjadi bangsa konsumtif saja karena sumber daya manusianya tidak mampu bersaing dengan bangsa–bangsa lain.4
Hasil belajar fisika siswa yang rendah disebabkan masih banyaknya guru mendominasi pembelajaran tidak berpusat pada siswa sebagai warga belajar, sehingga siswa kurang diberi kebebasan berpikir, mengembangkan ide dan imajinasinya, melakukan aktivitas belajar mandiri, melakukan investigasi terhadap fakta, konsep, prinsip, hukum atau teori hasil temuannya sendiri dari kegiatan laboratorium.
Kegiatan laboratorium di sekolah atau madrasah kebanyakan tidak mengangkat persoalan pemecahan masalah bagi siswa, tetapi hanya sekedar mengajak siswa memverifikasi fakta dari konsep yang telah disampaikan guru dalam pembelajaran. Dari segi materi pelajaran, kegiatan pembelajaran yang terjadi lebih statis karena didominasi guru.5 Hal ini disebabkan kegiatan laboratorium yang dilakukan tidak mengajak siswa dihadapkan pada masalah yang harus dipecahkan siswa, sehingga siswa benar-benar menemukan fakta, konsep, teori sebagai hasil temuannya sendiri. Kegiatan seperti itu akan terjadi bila pembelajaran dilakukan dengan berinkuiri.
Hasil riset PSSC (Physical Sciences Study Committe) di Amerika Serikat tahun 1956, menunjukkan bahwa menggunakan kegiatan laboratorium dengan inkuiri sebagai pendekatan utama dalam belajar fisika, terbukti berhasil membangkitkan minat dan kemampuan siswa. Siswa dapat menemukan hukum,
3 Druxes, loc. cit.
4 Puskur, Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Fisika Sekolah Menengah (Versi 1 Edisi Agustus 2001), (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2001), hlm. 11
5 Tim PPL, (2007). Laporan Observasi Praktrek Pengenalan Lapangan pada MTs Negeri 2 Kota Bandung, (Bandung: Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Gunung Djati, 2007), hlm. 12
mampu menghitung, mengukur, mengamati dan berinkuiri sesuai dengan pola pikirnya, seperti layaknya yang dilakukan seorang peneliti/ilmuwan.6 Kemampuan belajar seperti ini penting untuk dimiliki siswa sebagai bekal dalam kehidupannya walaupun ia tidak akan menjadi seorang saintis.
Sains terdiri dari produk dan proses. Produk sains yang berupa fakta, konsep, hukum, prinsip ataupun teori dihasilkan melalui proses sains. Proses sains itu sendiri melibatkan keterampilan-keterampilan yang harus dimiliki ilmuwan (peneliti) yang biasa juga disebut keterampilan proses sains sebagai wahana memperoleh produk sains tersebut. Keterampilan proses sains melibatkan keterampilan-keterampilan kognitif atau intelektual, manual, dan sosial yang melibatkan pikiran, penggunaan alat dan bahan, pengukuran dan berinteraksi dengan orang lain.7 Indikator keterampilan proses daintaranya seperti merancang percobaan, mengamati, mengklasifikasi, menafsirkan, menyimpulkan, dan mengkomunikasikan.
Keterampilan proses sains perlu dilatihkan pada siswa karena merupakan suatu tuntutan pencapaian kompetensinya, sebagaimana banyak disajikan dalam pencapaian kompetensi dasar IPA seperti dalam kurikulum 2006. Keterampilan proses sains siswa merupakan bagian penting yang tak terpisahkan dari kegiatan laboratorium, karena kegiatan eksperimen di laboratorium merupakan latiham untuk melatih penguasaan proses sains sebagai pengalaman belajar siswa.
Dengan demikian, penting untuk menerapkan kegiatan laboratorium dengan pendekatan inkuiri sebagai suatu model dalam melakukan pembelajaran fisika di sekolah atau madrasah. Diterapkannya model pembelajaran seperti ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor siswa. Pemilihan strategi penerapan model pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting guna tercapainya prestasi belajar yang optimal.

6 Wahyana, et al., Perencanaan dan Pengelolaan Pembelajaran IPA, (Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka, 2001) hlm. 98
7 Rustaman, Pengembangan Butir Soal Keterampilan Proses Sains. Makalah pada Jurusan Pendidikan Biologi IKIP, Bandung: Tidak diterbitkan, 1995). hlm. 13

Tahapan model pembelajaran laboratorium inkuiri adalah: 1) pada tahap pertama pembelajar dibingungkan oleh suatu teka–teki. Pengajar menyajikan suatu permasalahan dan menjelaskan prosedur inkuiri; 2) pada tahap kedua dan ketiga adalah pengumpulan data, proses penyelidikan dan pengujian. Siswa mengajukan serangkaian pertanyaan yang memungkinkan pengajar untuk menjawabnya dengan ya atau tidak, melakukan serangkaian eksperimen yang berkaitan dengan permasalahan; 3) pada tahap keempat, siswa mengorganisasikan informasi yang diperoleh selama proses pengumpulan data dan mencoba menjelaskan gejala–gejala yang dianggap tidak sesuai. 4) pada tahap kelima, pembelajar menganalisis proses inkuiri yang mereka gunakan dalam menyelesaikan permasalahan selama proses inkuiri secara sistematis dan mengungkapkannya; 5) interaksi sosial dalam kelas, terlihat adanya suatu kerjasama yang jelas dan tampak; adanya keterlibatan dalam interaksi dengan pembelajar; keterbukaan dalam menerima sejumlah ide/pemikiran; pengajar dan pembelajar sama–sama berpartisipasi dan berkonsentrasi memikirkan objek/fenomena yang sama dari obyek yang diamati; adanya suatu kerjasama, kebebasan berpikir, dan persamaan, (Suchman,1962).8
Salah satu konsep penting dalam pelajaran fisika di MTs adalah konsep kalor, yang merupakan konsep abstrak dengan contoh konkrit. Konsep ini sulit dikuasai siswa bila siswa hanya mendapatkan informasi secara verbal saja dari guru. Lebih diutamakan siswa harus bekerja dengan objeknya secara langsung (hands on). Selain itu, konsep kalor juga merupakan konsep prasyarat untuk mempelajari konsep selanjutnya misalnya tentang perhitungan energi listrik yang diubah ke bentuk energi panas dengan satuan kalor.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas maka peneliti memandang perlu adanya penelitian untuk mengetahui apakah model pembelajaran laboratorium berbasis inkuiri dapat lebih meningkatkan penguasaan konsep dan keterampilan proses sains siswa MTs pada pokok bahasan kalor dengan model pembelajaran laboratorium verifikasi.

8 Joice, B. at al., (2000). Model of Teaching, Sixth Edition. The United State of American, ( Needham Heights, Massachusetts , 2000) , hlm. 188
Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen semu dengan dua kelompok, yakni kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelas eksperimen mendapat perlakukan model pembelajaran laboratorium berbasis inkuiri, sedangkan kelas kontrol mendapat perlakuan model pembelajaran laboratorium verifikasi.
Desain penelitian yang digunakan adalah desain tes awal – tes akhir kelompok kontrol. Populasi penelitian ini adalah siswa pada salah satu MTsN Kota Bandung yaitu kelas VIII sebanyak enam kelas. Dari enam kelas populasi diambil secara random dua kelas sebagai subjek penelitian yang terdiri dari 41 orang siswa kelas eksperimen dan 41 orang siswa kelas kontrol.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: (1) tes penguasaan konsep dan tes kemampuan keterampilan proses sains siswa; (2) lembar observasi aktivitas siswa; (3) lembar observasi pengelolaan pembelajaran guru; dan (4) angket tanggapan siswa dan guru terhadap penerapan model pembelajaran.
Penguasaan konsep yang diteliti meliputi tiga sub topik kalor, yaitu: (1) kalor mengubah suhu dan wujud zat; (2) faktor-faktor yang mempengaruhi kalor pada suatu zat; dan (3) perpindahan kalor. Sedangkan keterampilan proses sains yang diteliti meliputi: (1) meramalkan (memprediksi); (2) merencanakan percobaan; (3) menafsirkan (interpretasi); (4) mengklasifikasikan (mengelompok-kan); (5) menerapkan konsep; dan (6) mengkomunikasikan.
Pengolahan data penelitian berupa data penguasaan konsep dan keterampilan proses sains dianalisis normalitas, homogenitas dan selanjutnya uji Mann-Withney U dan uji-t. Tanggapan siswa dan guru terhadap implementasi model pembelajaran dilakukan dengan pengolahan angket.
Kerangka Teori
Model Pembelajaran Laboratoium Berbasis Inkuiri
Model pembelajaran adalah suatu rencana mengajar yang memperlihatkan pola pembelajaran tertentu. Model yang dimaksudkan adalah terlihatnya kegiatan yang dilakukan guru, siswa, bahan ajar yang menciptakan siswa belajar, juga tersusun secara sistematis rentetan peristiwa pembelajaran (sintaks).9 Senada dengan itu, Winataputra10 mengartikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pengajaran dan para guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar.
Sund dan Trowbridge11 membedakan kegiatan laboratorium yang berdasarkan pendekatan inkuiri menjadi dua macam, yaitu pendekatan inkuiri terbimbing (guided inquiry approach) dan pendekatan inkuiri bebas (free inquiry approach). Model pembelajaran laboratorium berbasis inkuiri terbimbing (guided inquiry laboratory lesson) didefinisikan sebagai pembelajaran yang dirancang sedemikian rupa untuk mempersiapkan situasi bagi siswa dalam melakukan eksperimen sendiri, guru menyediakan bimbingan atau petunjuk kepada siswa.12 Dalam arti luas, pada diri siswa tertanam keinginan melihat apa yang terjadi, ingin melakukan sesuatu, ingin menggunakan simbol-simbol dan mencari jawaban atas pertanyaan sendiri, menghubungkan penemuan yang satu dengan penemuan lain, membandingkan apa yang ditemukan dengan hasil temuan orang lain.
Dengan menggunakan model pembelajaran laboratorium berbasis inkuiri diharapkan guru dapat melibatkan siswa pada area penyelidikan. Pada model ini, guru mempunyai peranan lebih aktif, guru berperan memfasilitasi, menyeleksi atau menciptakan situasi masalah, mewasiti prosedur inkuiri, memberi respon terhadap inkuiri yang ditunjukkan siswa, membantu siswa memulai inkuiri.


9 Depdikbud, (1999). Bahan Pelatihan Pengelolaan Laboratorium. Jakarta: Dirjen Dikdasmen dan Dikmenum, 1999), hlm. 42
10 Winataputra, Udin S., Materi Pokok Strategi Belajar Mengajar IPA. (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Dikdasmen Bagian Proyek Penataran Guru SMP Setara D–III, 1993), hlm. 343
11 Sund, Robert B., Trowbridge, Leislie W., Teaching Science by Inkuiri in The Secondary School. (Columbus Charles E. Merill Publishing company, 1973), hlm. 126
12 Amien, Moh. (1987). Mengajarkan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dengan Menggunakan Metode “Discovery” dan “Inquiry” bagian I, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, 1987), hlm. 98
Adanya faktor pendukung penciptaan kondisi terjadinya konfrontasi dalam pikiran siswa, membantu guru dalam memahami proses-proses berpikir dan strategi berpikir dan bahan yang dijadikan sumber memecahkan masalah bagi siswa.
Penggunaan model pembelajaran laboratorium berbasis inkuiri berdampak langsung pada keterampilan proses sains dan strategi untuk penyelidikan kreatif. Selain itu memiliki dampak iringan pada semangat berkreativitas, kebebasan atau otonomi dalam belajar, toleran terhadap pendapat yang berbeda, menyadari bahwa pengetahuan itu bersifat sementara.13
Model pembelajaran laboratorium berbasis inkuiri dalam penelitian ini dideskripsikan sebagai berikut: 1) Tahap berhadapan dengan masalah, pada tahap ini guru menginformasikan cara pembelajaran yang digunakan. Guru memulai pelajaran dengan mengajukan pertanyaan berupa teka–teki atau pertanyaan yang membingungkan kepada siswa. Jika teka teki pertama dapat terjawab dengan baik, guru mengajukan teka–teki selanjutnya yang memungkinkan siswa merasa kurang yakin akan jawabannya tersebut; 2) Tahap Pengumpulan data untuk verifikasi, Pada tahap ini guru meminta siswa untuk merespon masalah yang diajukan. Siswa diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan tertutup kepada guru yang memungkinkan untuk dijawab dengan perkataan ya atau tidak. Guru dapat meminta siswa untuk mengulang kembali pertanyaan yang tidak sesuai dengan respon yang diharapkan. Siswa diminta untuk mencatat data/informasi yang diperoleh dari pertanyaan yang diajukan dirinya atau siswa lain. Pada tahap ini guru diharapkan untuk kembali membangkitkan motivasi siswa untuk berinkuiri, guru mendorong terjadinya interaksi antar sesama siswa, memantau keadaan dengan tidak membiarkan siswa yang ingin berinkuiri terganggu atau tertekan oleh siswa lain; 3) Tahap pengumpulan data dalam eksperimen, pada tahap ini guru membiarkan siswa memulai inisiatifnya dengan melakukan eksperimen sesuai dengan lembar kegiatan siswa (LKS); Membiarkan siswa untuk bekerja menggunakan sumber–sumber pendukung penelitiannya dan menjawab setiap pertanyaan yang ada dalam LKS;
13 Joice, B. at al., loc. cit.
guru dapat meminta siswa untuk melakukan tukar menukar pendapat/berdiskusi dalam kelompoknya dalam rangka menyusun hipotesis; 4) Tahap merumuskan penjelasan, pada tahap ini siswa mengorganisasikan sejumlah informasi yang diperolehnya baik dari hasil penelitian maupun di luar penelitian ke dalam suatu bentuk penjelasan, pernyataan, atau prinsip secara formal sehingga mengerucut pada suatu kesimpulan; 5) Tahap mengenali proses inkuiri, pada tahap ini guru dan siswa sama–sama menganalisis strategi yang telah ditempuh siswa sehingga menghasilkan suatu kesimpulan. Siswa menjelaskan maksud/makna setiap tahapnya dalam rangka pembentukan konsep.
Dengan digunakannya model pembelajaran ini diharapkan kegiatan pembelajaran fisika tidak hanya menekankan pada aspek produk saja tetapi meliputi proses sains yang harus ditanamkan pada diri siswa.
Hasil belajar yang ingin dicapai oleh model pembelajaran laboratorium berbasis inkuiri ini adalah tertanamnya pemahaman atau penguasaan konsep pada siswa dan sikap ilmiah dan peningkatan keterampilan proses sains pada diri siswa.
Penguasaan Konsep
Penguasaan konsep menurut revisi taksonomi Bloom untuk aspek kognitif terdiri dari: 1) mengingat (remember); meliputi mengenali (recognizing), mengingat (recalling); 2) pemahaman/mengerti (understand); meliputi menafsirkan (interpreting), memberikan contoh (exemplifying), mengklasifikasikan (classifying), merangkum/meringkas (summarizing), menyimpulkan (inferring), membandingkan (comparing), dan menjelaskan (explaining); 3) menerapkan (apply); meliputi melaksanakan/menjalankan (executing), menerapkan (implementing); 4) menganalisis (analyze); meliputi membedakan/membuat perbedaan (differentiating), menyusun/mengorganisasikan (organizing), menghubungkan (attributing); 5) mengevaluasi/menilai (evaluate); meliputi mencek (cheking), mengkritik (criticuing); 6) menciptakan (create); meliputi membangkitkan/menghasilkan (generating), merencanakan (planing), menghasilkan (producing).14
14 Anderson, L.W. dan Krathwohl, D.R. (Eds), Abridged Education a Taxonomyz for Learning, Teaching, and Assesing (A Revision of Blooom’s Taxonomy of Educational Objective), (New York: Longman, Inc., 2001), hlm. 67
Menurut Rustaman15 bahwa untuk sekolah dasar dan sekolah menengah penguasaan konsp lebih ditekankan pada jenjang kognitif tiga yang pertama, yaitu pengetahuan atau ingatan (C1), pemahaman (C2) dan penerapan konsep (C3).
Keterampilan Proses Sains
Keterampilan-keterampilan Proses Sains merupakan keterampilan Kognitif (intelektual), keterampilan manual, dan keterampilan sosial yang digunakan siswa-siswa di dalam kelas.16 Mereka menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk merumuskan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru kepada mereka, untuk mempertahankan pendapat, untuk menerangkan kejadian-kejadian, dan untuk menafsirkan.17
Keterampilan proses sains dapat diukur dengan berbagai cara, antara lain dengan tes praktek, tes tertulis dan tes lisan. Keterampilan proses juga dapat dievaluasi secara bagian demi bagian menurut jenis-jenis keterampilan prosesnya, dapat juga mengukur seluruh keterampilan proses secara terpadu. Untuk memiliki keterampilan proses tertentu siswa harus melakukan kegiatan-kegiatan tertentu, yang disebut dengan sub. keterampilan proses (Depdikbud,1995).
Rustaman18 mengidentifikasi jenis jenis ketrampilan yang termasuk keterampilan proses yaitu: a) Melakukan pengamatan (observasi); b) Menafsirkan pengamatan (interpretasi); c) Mengelompokkan/klasifikasi; d) Meramalkan (prediksi); e) Berkomunikasi; f) Berhipotesis; g) Merencanakan percobaan atau penyelidikan; h) Menerapkan konsep atau prinsip; dan i) Mengajukan pertanyaan.
Dalam penelitian ini KPS yang digunakan enam keterampilan proses sains yaitu: a) meramalkan (prediksi); b) merencanakan percobaan; c) menafsirkan (interpretasi); d) mengklasifikasi (mengelompokkan); e) menerapkan konsep; dan f) berkomunikasi.

15 Rustaman, Keterampilan Proses IPA Apa dan Bagaimana? Makalah pada PPSIKIP (Bandung: Tidak diterbitkan, 2000), hlm. 9
16 Depdiknas, Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Fisika Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. (Jakarta: Balitbang, 2001), hlm. 34
17 Dahar, R. W., (1996). Teori-teori Bealajar, (Jakarta: Erlangga, 1996), hlm. 86
18 Rustaman, loc. cit.

Konsep Kalor dalam Fisika Jenjang Pendidikan Dasar
Kalor adalah salah satu bentuk energi yang dapat dipindahkan, energi tersebut dapat berpindah dari benda yang suhunya lebih tinggi ke benda yang suhunya lebih rendah jika kedua benda bersentuhan. Kalor dapat mengubah suhu suatu benda. Contohnya, jika air panas dicampur dengan air dingin maka campuran itu akan mencapai temperatur akhir akibat air yang lebih panas melepaskan kalor dan air yang kurang panas menerima kalor. Teori kalor menyatakan bahwa benda yang suhunya tinggi mengandung lebih banyak kalor dari pada benda yang suhunya rendah asalkan massa dan jenisnya sama. Ketika benda disentuhkan, benda yang memiliki jumlah kalor yang besar akan kehilangan kalornya yang diberikan kepada benda yang memiliki jumlah kalor yang kecil sampai kedua benda mencapai suhu yang sama (terjadi keseimbangan termal).
Jumlah kalor yang diterima atau dilepaskan (∆Q) adalah ∆Q = m.c.∆t. dengan m sebagai massa benda (gram); c sebagai kalor jenis/panas jenis benda (kal/gr˚C); ∆t sebagai kenaikan suhu (˚C). Kalor jenis suatu zat adalah banyaknya kalor yang diperlukan untuk menaikkan suhu 1 kg zat sebesar 1˚C.
Jika kita masak air/dipanaskan dengan nyala tetap, selanjutnya dengan mencelupkan termometer ke dalam air tersebut akan dapat diamati pada selang waktu yang berbeda–beda air akan bertambah panas, hal ini menunjukkan bahwa jumlah kalor sebanding dengan kenaikan suhu. Kalor yang diperlukan untuk menaikkan suhu ini sebanding dengan massa benda dan jenis zatnya.
Kalor dapat mengubah wujud zat, perubahan tersebut bisa terjadi dari padat menjadi gas, padat menjadi cair dan cair menjadi gas atau sebaliknya. Pada saat suatu zat padat mencair, diperlukan kalor. Banyaknya kalor yang diperlukan untuk melebur zat padat sebanyak 1 kg disebut dengan kalor lebur.
Jika sebongkah es dipanaskan sampai menjadi uap hal ini menunjukkan bahwa kalor dapat mengubah wujud zat. Pada saat suatu zat menguap, diperlukan kalor. Banyaknya kalor yang diperlukan untuk menguapkan zat cair (1 kg) pada titik didihnya disebut dengan kalor uap. Untuk cepat menguap, air memerlukan pemanasan. Demikian juga dengan spirtus atau alkohol yang diteteskan ke kulit atau saat air mengembun. Selain dengan cara pemanasan, penguapan dapat dipercepat terjadinya dengan memperlebar permukaan, meniupkan udara di bawah permukaan, menyemburkan zat cair dan mengurangi tekanan pada permukaan.
Kalor tidak dapat berpindah dari benda bersuhu rendah ke benda bersuhu tinggi tanpa bantuan suatu alat. Pada pertukaran kalor ini, ada sesuatu azas yang sangat penting dikemukakan oleh Yosep Black yang disebut Azas Black. Kalor secara alami berpindah dari benda yang suhunya tinggi ke benda yang suhunya rendah dengan tiga cara yaitu secara konduksi, konveksi dan radiasi.
Hasil dan Pembahasan
Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan yang signifikan kemampuan awal antara siswa kelas ekperimen dengan kelas kontrol dilakukan uji statistik terhadap data hasil tes awal penguasaan konsep. Uji perbedaan rerata kedua kelas menggunakan uji Mann-Whitney U. Dari uji tersebut diperoleh kesimpulan bahwa penguasaan konsep awal kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak berbeda secara signifikan. Dengan taraf signifikansi α = 0,05.
Untuk melihat hasil penerapan model pembelajaran, dilakukan tes akhir penguasaan konsep pada kedua kelas. Uji perbedaan rerata kedua kelas dilakukan dengan menggunakan uji Mann-Whitney U pada taraf signifikansi α = 0,05. Dari hasil pengolahan data diperoleh hasil analilis statistik U Mann-Whitney diperoleh nilai U sebesar 562, statistik W Wilcoxson sebesar 1423 dan statistic z = -2,609. Nilai probabilitas (signifikansi) berdasarkan statistik U sebesar 0,009 yang lebih kecil dari taraf nyata 0,05. Dengan demikian, disimpulkan bahwa penguasaan konsep akhir kelas eksperimen dan kelas kontrol berbeda secara signifikan. Dapat dikatakan bahwa pengusaan konsep siswa yang memperoleh pembelajaran dengan model laboratorium berbasis inkuiri lebih baik daripada siswa yang memperoleh pembelajaran laboratorium vervikasi. Peningkatan penguasaan konsep yang telah dicapai oleh siswa dari tes awal, tes akhir dan peningkatan N-gain ternormalisasi dapat dilihat dari gambar berikut ini.

Gambar 1
Perbandingan Penguasaan Konsep Siswa
Berdasarkan gambar 1 terlihat adanya perbedaan dalam peningkatan penguasaan konsep yang dicapai siswa. Pengingkatan penguasaan konsep kelas eksperimen 44% dan kelas kontrol 33% yang menunjukkan peningkatan penguasaan konsep kelas eksperimen lebih tinggi dibanding kelas kontrol.
Tabel 1 menunjukkan persentase penguasaan konsep tiap konsep pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa pada kelas kontrol, semua konsep mengalami peningkatan. Peningkatan tertinggi yaitu sebesar 34% diperoleh pada konsep kalor mengubah suhu suatu zat. Sedangkan konsep yang mengalami peningkatan terendah, yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kalor pada suatu zat sebesar 14%.









Tabel 1 Skor Tes Awal - Tes Akhir Untuk Tiap
Penguasaan Konsep Siswa Kelas Eksperimen dan Kontrol

Pada kelas eksperimen, peningkatan tertinggi yaitu sebesar 52% diperoleh pada konsep faktor-faktor yang mempengaruhi kalor pada suatu zat, sedangkan peningkatan terendah pada konsep kalor mengubah suhu suatu zat, yaitu sebesar 18%. Semua penguasaan konsep yang diukur mengalami peningkatan. Pada kelas kontrol peningkatan tertinggi yaitu sebesar 0,34 (34%) diperoleh pada konsep kalor mengubah suhu suatu zat. Sedangkan konsep yang mengalami peningkatan terendah sebesar 0,14 (14%), yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kalor pada suatu zat. Pada kelas eksperimen, peningkatan tertinggi yaitu sebesar 0,52 (52%) diperoleh pada konsep faktor-faktor yang mempengaruhi kalor pada suatu zat, sedangkan peningkatan terendah pada konsep kalor mengubah suhu suatu zat, yaitu sebesar 0,18 (18%).
Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan yang signifikan kemampuan awal antara siswa kelas ekperimen dengan kelas kontrol dilakukan uji statistik terhadap data hasil tes awal keterampilan proses sains. Uji perbedaan rerata kedua kelas menggunakan uji Mann-Whitney U. Dari uji tersebut diperoleh kesimpulan bahwa keterampilan proses sains awal kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak berbeda secara signifikan, pada taraf signifikansi α = 0,05.
Untuk melihat hasil penerapan model pembelajaran, dilakukan tes akhir keterampilan proses sains pada kedua kelas, disimpulkan bahwa KPS akhir kelas eksperimen dan kelas kontrol berbeda secara signifikan.
Peningkatan KPS yang telah dicapai oleh siswa dinyatakan dengan skor gain ternormalisasi (N-Gain). Dari hasil pengolahan data, diperoleh bahwa t hitung untuk gain kedua kelompok adalah 5,993 (asumsi varians sama) dengan nilai signifikansi (probabilitas) 0,000. Oleh karena probabilitas < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan KPS kelompok eksperimen dan kelompok kontrol adalah berbeda, dengan rata-rata peningkatan KPS kelompok eksperimen lebih tinggi 22,95% dibandingkan dengan rata-rata peningkatan kelompok kontrol. Peningkatan KPS siswa yang memperoleh model pembelajaran laboratorium berbasis inkuiri seperti terlihat pada gambar 2 berikut.

Gambar 2
Perbandingan Keterampilan Proses Sains Siswa
dalam Tes Awal dan Tes Akhir
Berdasarkan Gambar.2 terlihat adanya perbedaan dalam peningkatan KPS yang dicapai siswa. Pengingkatan KPS kelas eksperimen 54% dan kelas kontrol 31% yang menunjukkan KPS kelas eksperimen lebih tinggi dibanding kelas kontrol.
Semua indikator kemampuan KPS mengalami peningkatan. Peningkatan tertinggi yaitu sebesar 37% diperoleh pada indiktor KPS menerapkan konsep. Sedangkan indikator KPS yang mengalami peningkatan dengan proporsi terendah, yaitu pada indikator menafsirkan sebesar 15%.
Pada kelas eksperimen, peningkatan tertinggi yaitu sebesar 65% diperoleh pada indikator KPS merencanakan percobaan, sedangkan peningkatan dengan proporsi terendah pada indikator KPS mengkomunikasikan, yaitu sebesar 33%.
Kelas eksperimen memiliki rata-rata skor tes awal sebesar 37,2 dan kelas kontrol memiliki rata-rata skor tes awal sebesar 36,1. Sementara rata-rata skor akhir (tes akhir) kelas eksperimen sebesar 71,3 dan rata-rata skor akhir KPS kelas kontrol sebesar 56,4. Dan gain kedua kelas berturut-turut adalah sebesar 0,54 (54%) dan 0,31 (31%). Meningkatnya kemampuan KPS siswa kelas eksperimen tidak terlepas dari pengaruh diterapkannya model pembelajaran laboratorium berbasis inkuiri yang menekankan pada proses dan pembelajaran aktif.
Tabel 4.11
Skor Tes Awal dan Tes Akhir untuk Tiap Indikator KPS Siswa Kelas Eksperimen dan Kontrol

Simpulan
Peningkatan penguasaan konsep siswa pada pokok bahasan kalor dengan penerapan model pembelajaran laboratorium berbasis inkuiri lebih tinggi daripada penerapan model pembelajaran kerja laboratorium verifikasi, begitu juga peningkatan keterampilan proses sains siswa pada pokok bahasan kalor dengan penerapan model pembelajaran laboratorium berbasis inkuiri lebih tinggi daripada penerapan model pembelajaran laboratorium verifikasi.
Siswa memberikan tanggapan terhadap penerapan model pembelajaran laboratorium berbasis inkuiri. Siswa merasa senang dalam mengikuti pelajaran, meningkatnya sikap keterbukaan, tenggang rasa, semangat kebersamaan, keterampilan mengajukan pertanyaan, tekun dalam belajar, serta lebih teliti menyikapi permasalahan yang dihadapi, begitu pula halnya guru memberikan tanggapan terhadap penerapan model pembelajaran laboratorium berbasis inkuiri. Guru termotivasi untuk meningkatkan kemampuan mengajar, serta memiliki keinginan untuk mencoba mengembangan model yang mengaktipkan siswa.
Daftar Pustaka
Amien, Moh. (1987). Mengajarkan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dengan Menggunakan Metode “Discovery” dan “Inquiry” bagian I. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
Anderson, L.W. dan Krathwohl, D.R. (Eds). (2001). Abridged Education a Taxonomyz for Learning, Teaching, and Assesing (A Revision of Blooom’s Taxonomy of Educational Objective). New York: Longman, Inc.
Dahar, R. W. (1996). Teori-teori Bealajar. Jakarta: Erlangga.
Depdikbud. (1999). Bahan Pelatihan Pengelolaan Laboratorium. Jakarta: Dirjen Dikdasmen dan Dikmenum.
Depdiknas dan Balitbangdiknas. (2001). Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Fisika Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Jakarta.
Druxes, Herbert, dkk. (1995). Kompendium Didaktik Fisika. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Hofstein, et al. (1982). The Role of Laboratory in Science Teaching: Nenglected Aspect of Research. Review of Educational Research, Vol. 52 No. 2, Pp 201-217, Summer.

Joice, B. at al. (2000). Model of Teaching, Sixth Edition. The United State of AmericaP: Needham Heights, Massachusetts 02494.

Kirschner, Paul A. (1991). Practical in Higher Science Education, Center for Educational Technology and innovation. Den Haag.
Puskur. (2001). Kurikulum Berbasis Kompetensi Mata Pelajaran Fisika Sekolah Menengah (Versi 1 Edisi Agustus 2001). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Sund, Robert B., Trowbridge, Leislie W. (1973). Teaching Science by Inkuiri in
The Secondary School. Columbus Charles E. Merill Publishing company.
Rustaman, Nuryani. (1995). Pengembangan Butir Soal Keterampilan Proses Sains. Makalah pada Jurusan Pendidikan Biologi IKIP Bandung: Tidak diterbitkan.
_________,. (1992). Pengembangan alat dan validasi alat ukur keterampilan proses sains pada pendidikan dasar 9 tahun sebagai persiapan pelaksanaan kurikulum 1994. Laporan Penelitian pada IKIP Bandung: tidak diterbitkan.
_________,. (2000). Keterampilan Proses IPA Apa dan Bagaimana? Makalah pada PPSIKIP Bandung: Tidak diterbitkan
Sutresno, Hendi. (2001). Efektifitas Model Pembelajaran Learning Cycle dalam Meningkatkan Pemahaman pada Pokok Bahasan Gaya Gesekan dan Kemampuan Berfikir Siswa SMU (Tesis). Bandung: PPS UPI. (Tidak Diterbitkan)
Tim PPL. (2007). Laporan Observasi Praktrek Pengenalan Lapangan pada MTs Negeri 2 Kota Bandung. Bandung: Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Gunung Djati. (Tidak Diterbitkan)
Wahyana, et al. (2001). Perencanaan dan Pengelolaan Pembelajaran IPA. Jakarta: Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.
Winataputra, Udin S. (1993). Materi Pokok Strategi Belajar Mengajar IPA. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Dikdasmen Bagian Proyek Penataran Guru SMP Setara D–III.